
Suatu saat ada telpon masuk, "Bu, saya mau konseling. Berapa tarifnya ya?"
Saya sebutkan tarif yang berlaku di RS yaitu sekian ratus ribu. Kurang lebihnya sih. Kalo pun lebih, ya lebihnya nggak nyampe 50 ribuan lah. Responnya? "Wah.. mahal juga ya, Bu? Bayar segitu untuk berapa kali pertemuan?" Saya jawab bahwa 'bayar segitu' untuk 1 kali pertemuan @1-1.5 jam. Tiba-tiba suara di sebelah sana melemah, letih dan lesu.. hehe..
Akhirnya bisa diduga. Orang tersebut nggak jadi konseling. Sebenarnya yang mengatakan tarif psikolog itu mahal lumayan banyak. Bahkan ada yang ngomong langsung ke saya, karena dia teman ya, kalo "ke psikolog itu cuman omong-omong aja kok mahal sih?".
(Eh saya kasih tahu ya.. Supaya bisa omong-omong bergizi kayak gitu itu pake sekolah kurang lebih 5 tahunan lho. Pake ujian, pake skripsi, pake dimarahi dosen pula)
Itu tuh yang bikin saya bingung. Kalo ke psikolog nggak pake ngomong, lha gimana kami bisa tahu persoalan klien? Lha masa hanya diam dan saling berpandangan aja, keluhan klien langsung teratasi? Ntar kalo psikolognya pake lilin, menyan, bunga, plus bola kristal, kliennya komplain. Psikolog apa dukun.. Nggak jelas khan?
Trus kalo psikolognya pake stetoskop, ntar klien malah heran. Ini psikolog kok sok belagu jadi dokter? Atau kalo psikolognya pake pijetin, lha malah bingung khan si kliennya.. Eh saya kadang pake teknik akupresure lho.. Ya, biar klien ngrasa 'nggak cuman ngomong doang, tapi diapa-apain' qiqiqi...
ANAMNESA DAN INTERVENSI PADA SAAT YANG SAMA

Anda pernah ke dokter gigi? Pastinya pernah. Dokter gigi nyuruh buka mulut, periksa satu gigi yang bermasalah. Trus dia ketok-ketok, ukrek-ukrek, lalu bor... nging...ngiiiinggg.... Lantas kasih obat, tambal sementara, kumur, selesai. Pasien bayar sekian ratus ribu. Itu kalo satu gigi dikerjakan. Kalo dua gigi dengan 3 jenis tindakan? Keluar deh angka jutaan untuk 1 kali periksa.
Pasien mau nggak kalo ke doker gigi, pas dateng pertama, gigi bermasalah cuman diliatin aja. Trus dipoto. Potonya diliatin ke kita sambil dokternya menceritakan kisah pilu si gigi itu. Udah gitu aja. Trus pasien suruh bayar sekian ratus ribu. Yakin deh, pasien langsung protes. Nggak diapa-apain kok bayar? Trus disuruh pulang sama dokternya padahal gigi masih linu. Mau?
Analog dengan dokter gigi, begitulah cara kerja psikolog. Klien datang dengan segudang permasalahan yang udah diderita sekian lama waktunya, dan ia menceritakan kisahnya pada psikolog. Itu disebut anamnesa. Prosesnya disebut wawancara klinis. Bukan wawancara kerjaan. Atau wawancara masa depan dg calon mertua. Nah, hasil wawancara klinis itu kudu ditindaklanjuti dong.
Setara dengan tindakan medis dokter gigi, maka psikolog melakukan intervensi pada saat itu juga. Kalo paradigmanya yang agak mbleset dikit, ya pake teknik psikoterapi kognitif. Kalo emosinya yang meluap-luap kayak sungai pas banjir, ya pake teknik untuk melepaskan emosi negatif. Itulah sebabnya per sesi konseling psikologi lama banget, bahkan bisa jadi berlangsung selama 2 jam. Klien sih nggak ngrasa lama, lha dia asyik cerita. Klien lain yang nunggu di ruang tunggu itu yang merasakan lamanya.
Melakukan anamnesa sekaligus intervensi pada saat yang sama juga mirip kerja seorang dokter bedah. Bedanya kalo dokter bedah, konsultasi dan tindakan operasinya beda hari. Kemiripan dengan dokter bedah adalah psikolog melakukan 'konsultasi dan tindakan bedah' pada saat yang sama yaitu saat sesi tersebut.
TERASA MAHAL KARENA HASILNYA ABSTRAK

Klien merasakan perubahan dalam dirinya setelah bertemu dengan psikolog adalah suatu pencapaian. Namun karena hasil tersebut tidak kasat mata, biasanya orang beranggapan kalau ke psikolog itu 'cuman begitu saja'. Berbeda halnya kalo sakit fisik. Setelah berobat ke dokter, sakit fisiknya hilang. Perubahannya jelas kelihatan.
Namun klien tidak menyadari bahwa perubahan tak terlihat tersebut membawa dampak besar dalam seluruh aspek kehidupannya. Misalnya : ketika konflik dengan pasangannya reda, terselesaikan, mungkin dengan cara sederhana yaitu pasangannya bersedia minta maaf padanya disaksikan psikolognya, ia dapat menikmati kembali kehidupan berkeluarga yang sempat hilang beberapa waktu. Bisa jadi anak-anaknya akan kembali merasakan memiliki keluarga lagi. Mungkin juga karirnya membaik karena kinerjanya jadi bagus. Dan sebagainya. Apakah hal itu tidak berharga?
Contoh lain : Anak mogok sekolah sebulan. Dibujuk dengan segala cara nggak mempan. Dibawa ke psikolog untuk 'dibetulin'. Orangtua dah senewen plus mumet. Setelah 2 kali sesi, si anak mau berangkat sekolah dengan hati riang gembira nan sumringah. Orangtua pun bahagia tak terkira. Menurut Anda, berapa harga yang tepat untuk sesi-sesi konseling semacam itu?
Anak kecanduan gadget. Bawaannya marah melulu. Prestasi jeblok. Guru nyuruh anak dibawa ke psikolog. Di rumah bikin emosi keluarga. Ribut terus sama papa, mama, adik, kakak, pembantu, semuanya deh. Setelah sesi psikoterapi, kecanduan lenyap. Anak semangat sekolah, belajar, perilakunya balik normal lagi. Kalo orangtua dikenakan tarif sekian ratus ribu oleh psikolognya, apakah sebanding dengan hasilnya?
Dampak perubahan semacam itu, sebenarnya tidak dapat dinilai dengan sejumlah uang yang dibayarkan untuk psikolognya. Nilai nominal dan pencapaian kehidupan berkualitas klien tidaklah sebanding. So, saya berharap teman-teman yang membaca ini dapat memahami cara kerja kami. Dan berharap nggak ada lagi yang komentar, "Mahal ya tarif psikolog itu?".
Udah gitu aja. Sekian dan terima klien berikutnya.
Copy right by
FB N.K