Sunday, January 31, 2021

Deepest Condolence SJ-182

 

Jatuhnya pesawat sj-182 diawal bulan januari lalu tentu membuat rasa pilu bagi keluarga yang ditinggalkan, bukan hanya keluarga namun kita yang berada di Indonesia pun turut merasakan kesedihannya. Dalam tulisan blog ku kali ini aku mau ngejelasin bagaimana kaitannya ilmu psikologi dengan jatuhnya pesawat sj-182 ini.

Bagi keluarga yang ditinggalkan oleh para korban ini tentu sangat merasakan kehilangan, kesedihan yang sangat amat mendalam dan tentu saja membuat trauma bagi mereka di dalam psikologi, keadaan seperti ini disebut dengan PTSD, mungkin banyak dari kalian yang bertanya-tanya PTSD itu Apa sih ? Jadi, PTSD (post traumatic syndrom disorder) merupakan suatu kondisi atau keadaan yang terjadi setelah seseorang mengalami peristiwa traumatik atau kejadian buruk dalam hidupnya. Timbulnya PTSD tidak hanya disebabkan adanya stressor namun melibatkan faktor lainnya yang terjadi sebelum & setelah trauma tersebut PTSD ini memiliki manifestasi klinik yang terdiri dari :

o     Sebelum mengalami gejala (re-experiencing symptoms)

   Re-experiencing symptoms, merupakan mengingat kembali kejadian-kejadian yang terjadi sebelumnya, termasuk gejala fisik, deg-degan & berkeringat, mimpi buruk & rasa takut yang berlebihan. Gejala yang terjadi dapat disebabkan karena masalah dalam rutinitas sehari-hari penderita. Dapat dimulai dari pikiran & perasaan orang itu sendiri. Misalnya, dengan mengingat kata-kata, benda, atau situasi yang dapat memicu terjadinya symptom.

o     Gejala penghindaran (avoidance symptoms)

   Pada manifes ini penderita merasa mati rasa emosional, merasa sangat bersalah, depresi, atau khawatir, kehilangan minat dalam kegiatan yang menyenangkan dimasa lalu, memiliki kesulitan mengingat peristiwa berbahaya dan penderita dapat tinggal jauh dari tempat, peristiwa, atau benda yang dapat membuat mengingat dari pengalaman peristiwa.

o     Hyperaurosal symptom

   Dimana dalam manifes ini penderita menjadi mudah terkejut, merasa tegang atau gelisah, memiliki kesulitan untuk tidur dan atau memiliki luapan kemarahan.

 

Sedangkan, dalam DSM IV PTSD dikelompokkan menjadi :

o   Akut, bila gejala muncul kurang dari 3 bulan setelah kejadian

o   Kronis jika gejala PTSD yang muncul lebih dari 3 bulan pasca trauma

o   Onset PTSD lambat yakni gejala muncul setelah 6 bulan pasca trauma

Pada gangguan ini juga menyebabkan penderitanya mengalami kegagalan dalam fungsi sosial, pekerjaan maupun fungsi lain dalam kehidupannya terapinya dapat dilakukan dengan psikoterapi dan farmakoterapi. Selain PTSD para keluarga yang ditinggalkan oleh penumpang pesawat sj-182 juga berada di fase duka cita atau bagi kami dikalangan psikologi dikenal dengan "grief". Ahli psikologi perkembangan yaitu papalia mengartikan grief sebagai respon emosional yang dialami pada fase awal kehilangan, dimana dalam hal ini kematian, terdapat juga banyak bentuk dari amarah hingga perasaan hampa dan diiringi dengan penyesuaian terhadap kehilangan itu sendiri. Respon emosi kesedihan di fase ini sangatlah sering terjadi adapun tahapan dalam grief, yaitu :

o   Shock dan tidak percaya

  Dimana seseorang menolak kenyataan atau kehilangan dan mungkin menarik diri, duduk malas, menangis atau pergi tanpa tujuan. Reaksi secara fisik yang sering kali dialami yaitu pingsan, diaphoresis (keringat dingin), mual, diare, detak jantung cepat, tidak bisa istirahat, insomnia dan kelelahan pada tahap ini berlangsung selama beberapa minggu, terutama setelah kematian mendadak atau tidak terduga.

o   Terfokus pada kenangan orang yang meninggal

   Pada fase ini berlangsung 6-2 tahun lebih lamanya, mencoba berdamai dengan kematian orang terdekatnya akan tetapi masih belum bisa menerimanya.

o   Resolusi

   Orang yang berduka memperbarui minat pada kegiatan sehari-hari kenangan orang yang meninggal membawa perasaan suka bercampur kesedihan dari pada rasa sakit dan kerinduan.

Selain itu ada 3 pola utama dalam grief yang berkaitan dengan kesedihan orang yang ditinggalkan, yaitu :

o   Pola kesedihan yang umum terjadi

o   Pola ketiadaan kesedihan

o   Pola kesedihan kronis

Pada umumnya orang dewasa dapat mengatasi grief  2-3 tahun setelah kematian orang terdekatnya, terutama kematian pasangan orang dewasa yang mengatasi kematian anaknya masih dapat muncul hingga 10 tahun setelah kematian. Menurut shapiro (1994), biasanya durasi grief bergantung pada banyak faktor seperti kelekatan (attachment) serta cinta terhadap orang yang meninggal, selain itu juga adanya persiapan psikologis atas kehilangan dapat berpengaruh. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi dari grief itu sendiri :

o   Hubungan dengan orang yang meninggal

o   Kepribadian

o   Usia dan jenis kelamin orang yang ditinggalkan

o   Peristiwa ketika terjadinya kematian & durasi penyakit

o   Konteks budaya dimana kematian terjadi

 

Oiya perlu diketahui PTSD ini bisa juga terjadi dalam hal lain ya, misalnya seseorang yang trauma akan berhubungan dengan seorang laki-laki karna dahulu pernah diperkosa dengan pamannya atau seseorang yang pernah menjadi anggota militer dan pernah bertugas dimedan perang kemudian dia terkena luka parah karna sengatan senjata tajam atau bom sehingga membuat nya menjadi luka sangat parah difisik maupun mentalnya sehingga mengakibatkan dia tidak ingin mengunjungi negara tersebut yang pernah menjadi medan perang saat itu ketika keadaan sudah jauh membaik atau bahkan jika mendengar suatu dentuman keras yang menyerupai bom orang tersebut akan merasakan ketakutan yang berlebih hingga mengalami kesedihan atau bahkan keringat dingin yang dihasilkan dari respon tubuhnya tersebut.

Sekian yang bisa aku sampaikan, semoga bisa menambah wawasan buat kalian ya, terima kasih sudah menyempatkan untuk membaca, sampai jumpa di post blog aku selanjutnya. Stay safe & health everyone 😊

 

 


Saturday, January 16, 2021

Pola Asuh

 

Hi, semuanya Kembali lagi di seputar psikoedukasi di blog aku ya, sebenernya kali ini aku mau bahas tentang pola asuh dari sudut pandang psikologi dan inner child, keduanya saling berkaitan tapi sebelumnya aku bakal bahas dari pola asuh dulu ya. Nah buat yang penasaran berikut ini ulasannya ya mengenai pola asuh beserta ciri-ciri dari masing-masing pola asuhnya.

Pertama, kita bahas pola asuh menurut APA (American Psychological Association), menurut APA pola asuh dalam prakteknya memiliki tiga tujuan utama yaitu : memastikan kesehatan dan keselamatan anak-anak, mempersiapkan anak untuk hidup sebagai orang dewasa yang produktif dan mentransmisi nilai-nilai budaya. Sebuah hubungan orangtua-anak berkualitas tinggi sangat penting untuk perkembangan yang sehat. Selain itu, menurut Baumrind (dalam Irmawati, 2002) pola asuh orang tua merupakan segala bentuk dan proses interaksi yang terjadi antara orang tua dan anak yang merupakan pola pengasuhan tertentu dalam keluarga yang akan memberi pengaruh terhadap perkembangan kepribadian anak.

Baumrind juga mengatakan bahwa pola asuh terbentuk dari adanya (1) Demandingness, yang mana hal tersebut menggambarkan bagaimana standart yang ditetapkan oleh orang tua bagi anak, berkaitan dengan control perilaku dari orang tua, (2) Responsiveness, menggambarkan tentang bagaimana orang tua berespons kepada anaknya, berkaitan dengan kehangatan dan dukungan orang tua. Terdapat 3 jenis pola asuh yang mengandung dari 2 aspek tersebut, berikut ini penjelasannya :

1.   Authoritative (Demokratis)

Pola asuh demokratis merupakan pola asuh yang memprioritaskan kepentingan anak akan tetapi tidak ragu-ragu mengendalikan mereka. Orang tua dengan pola asuh ini bersikap rasional, selalu mendasari tindakannya pada rasio atau pemikiranpemikiran. Pola asuh ini mengandung demanding dan responsive. Adapun ciri-ciri dari pola asuh demokratis, yaitu :

·        Orang tua bersikap realistis terhadap kemampuan anak, tidak berharap yang berlebihan yang melampaui kemampuan anak.

·        Orang tua memberikan kebebasan kepada anak untuk memilih dan melakukan suatu tindakan.

·        Bersikap responsif terhadap kemampuan anak.

·        Mendorong anak untuk menyatakan pendapat atau pertanyaan.

·        Memberikan penjelasan tentang dampak perbuatan baik dan buruk.

·        Menghargai setiap keberhasilan yang diperoleh anak.

 

2.   Authoritarian

Merupakan pola asuh yang cenderung menetapkan standar yang mutlak harus dituruti, biasanya disertai dengan ancaman-ancaman. Bentuk pola asuh ini menekan pada pengawasan orang tua atau kontrol yang ditunjukkan pada anak untuk mendapatkan kepatuhan dan ketaatan. Pola asuh ini mengandung demanding dan unresponsive. Berikut ini ciri dari pola asuh otoriter ya

·        Orang tua suka menghukum secara fisik.

·        Orang tua cenderung bersikap mengomando (mengharuskan atau memerintah anak untuk melakukan sesuatu tanpa kompromi).

·        Bersikap kaku.

·        Orang tua cenderung emosional dan bersikap menolak

3.   Pola Asuh Permisif

Merupakan suatu bentuk pengasuhan dimana orang tua memberikan kebebasan sebanyak mungkin kepada anak untuk mengatur dirinya, anak tidak dituntut untuk bertanggung jawab dan tidak banyak kontrol dari orang tua. Pola asuh ini mengandung undemanding dan responsive. Adapun ciri-ciri dari pola asuh ini

·        Orang tua tidak menegur atau memperingatkan anak apabila anak sedang dalam bahaya dan sangat sedikit bimbingan yang diberikan oleh mereka.

·        Orang tua memberikan kebebasan kepada anak untuk menyatakan dorongan atau keinginannya.

·        Orang tua tidak pernah menegur atau tidak berani menegur perilaku anak, meskipun perilaku tersebut sudah keterlaluan atau diluar batas kewajaran

 

Nah itu semua penjelasan dari pola asuh menurut sudut pandang psikologi ya, jika kalian menanyakan pola asuh mana yang baik untuk diterapkan aku pribadi sejauh ini memandang pola asuh demokratis sangat baik yang bisa digunakan tapi sesekali boleh saja kok kita gunakan untuk pola asuh otoritatif dan permissive ya dalam hal ini mengkombinasinya, namun untuk kedua itu jangan terlalu sering terutama otoritatif sih ya.

Aku harap dari penjelasan yang aku kasih diatas bisa kalian pahami dan bisa bermanfaat buat kalian ya, terima kasih sudah meluangkan untuk membaca tulisan ku di blog ku ya, sampai jumpa di post blog ku selanjutnya, yang inshaallah aku bakal bahas mengenai inner child, karena hal ini erat kaitannya juga loh dengan pola asuh. Stay safe & health to my beloved readers 😊

Monday, January 4, 2021

Apa Itu Mindfulness ?


 Hi semuanya apa kabarnya para pembaca setia blog ku ? semoga dalam keadaan baik dan sehat ya. Bagaimana tahun baru kalian ? semoga menyenangkan ya walaupun masih dalam keadaan pandemic seperti ini. Aku juga mau ngucapin selamat tahun baru 2021, semoga kita menjadi pribadi yang jauh lebih baik lagi, selalu diberi kesehatan, dimudahkan segala urusannya dan selalu dalam lindungannya, aamiin… Nah kali ini aku mau bahas materi kuliah ku nih, tentang mindfulness. Mungkin banyak dari kalian yang belum tahu apa sih mindfulness ini, berikut ini penjelasannya ya, selamat membaca.

Mindfulness dapat diartikan sebagai memberi perhatian dengan cara tertentu; tujuannya adalah berada pada saat ini dan tidak menghakimi. Pada tahun 1960an dan 1970an, sarjana Barat mulai mempelajari latihan mindfulness di Asia Tenggara. Mereka membawa latihan ini kembali ke Barat dan mulai mengajarkannya dalam kerangka Buddhisme. Pada tahun 1980an dan 1990an, telah ditemukan bahwa latihan ini dapat disarikan menjadi matriks kultural Asia dan dapat digunakan dalam konteks sekuler.

Latihan mindfulness mulai digunakan dalam konteks sekuler terutama dalam ketrampilan dalam perhatian (attentional skills). Latihan ini menjadi berkembang dalam seting klinis terutama untuk manajemen rasa sakit (pain management), pemulihan terhadap kecanduan (addiction recovery), pengurangan stres (stress reduction), maupun psikoterapi pada umumnya.

Tahun 1979, Jon Kabat-Zinn telah menciptakaan Mindfulness-Based Stress Reduction (MBSR) di University of Massachusetts Medical School dalam terapi bagi pasien penyakit kronis. Setelah itu, sejumlah modalitas terapi yang terkait dengan mindfulness telah berkembang pula seperti: Acceptance and Commitment Therapy (ACT); Mindfulness-Based Cognitive Therapy (MBCT); Dialectical Behavioral Therapy (DBT); Mindfulness Based Relaxation Training (MBRT). Saat ini sudah masuk dalam Psikologi Positif.

Tahun 1979, Jon Kabat-Zinn menciptakan training 8 minggu di bagian kedokteran Universitas Massachusetts untuk pasien yang mengalami sakit kronis, AIDS dan kanker. Meskipun belum tentu mampu menyembuhkan, Kabat-Zinn menemukan bahwa  mindfulness (meditasi sadar diri) telah membantu pasien mengelola stres dan rasa sakit dengan cara yang berbeda. Selama 10 tahun pengalaman klinisnya dengan 4.000 orang yang mengikuti training ini, Kabat-Zinn menemukan meditasi ini dapat digunakan untuk membantu mengatasi masalah-masalah medis seperti pusing, tekanan darah tinggi, sakit punggung, dan penyakit jantung.

Positive psychology program (2015) mencatat bahwa sejarah mindfulness dapat dilacak ke belakang dari sejarah agama dan sejarah praktik mindfulness juga ditemukan di seluruh dunia. Ini dimulai pada 1500 SM dalam Hinduisme dalam konteks yoga, Daoism sejak abad 6 SM dalam latihan qì gong, dan Buddhisme pada 535 SM dalam arti fokus dan latihan nafas.  Mindfulness juga ditemukan di dalam ajaran Kristen, Muslim, dan Yahudi.

Praktik mindfulness adalah seperti berkebun. Taman bisa bertumbuh saat hadir suatu kondisi tertentu. Dengan memegang 7 kualitas berikut ini, merenungkannya, menumbuhkannya sesuai dengan pemahaman terbaik kita, usaha ini akan memberi asupan, dukungan dan memperkuat latihan kita. Menjaga sikap-sikap ini di dalam diri kita adalah bagian dari pelatihan, suatu cara untuk menyalurkan energi kita dalam proses penyembuhan dan pertumbuhan. Ingat juga bahwa sikap-sikap ini saling bergantung. Masing-masing mempengaruhi yang lain dan saling meningkatkan satu sama lain

Tujuh kualitas dasar latihan mindfulness :

·        Non-judging (tidak menghakimi)

Setiap hari kita menilai sesuatu, orang, dan kejadian yang hadir ke dalam kehidupan kita. Kita memberi label sebagai “baik” karena membuat kita merasa baik untuk alasan tertentu. Yang lainnya kita dengan cepat mengutuknya sebagai “buruk” karena membuat kita merasa tidak nyaman. Sisanya dikategorikan sebagai “netral” karena menurut kita tidak ada relevansinya. Kejadian "netral" ini diusir dari kesadaran kita; kita bahkan tidak mengenalinya. Saat kita melakukannya, kita menemukan hal itu sebagai hal yang membosankan. Bila kita telah membuat penilaian yang cepat ini, kita masuk ke autopilot. Kita berhenti menjalani hidup kita sepenuhnya dan melewati hari-hari kita. Kita terjebak dalam hal-hal yang kita suka dan tidak suka, sulit bagi kita untuk menemukan kedamaian. Adalah penting untuk mengenali kualitas pikiran dalam menilai saat kita mempraktikkan mindfulness. Suatu kali kamu menemukan diri kamu berpikir, “Ini membosankan”, “Ini tidak bekerja”, atau “aku tidak dapat melakukan hal ini”, sadari bahwa pikiran kamu telah menilai pengalaman itu. Kamu tidak harus berhenti menilai, namun ketahuilah dan mencoba mematikan autopilot dan mengalami saat ini. Amati saja full catastrophe (malapetaka hidup) ini dan reaksi kamu terhadapnya.

·        Patience  (Kesabaran)

Kesabaran adalah bentuk kebijaksanaan. Ini menunjukkan bahwa kita memahami dan menerima bahwa sesuatu harus terungkap di zamannya sendiri. Kita menumbuhkan kesabaran terhadap pikiran dan tubuh kita saat kita mempraktikkan mindfulness. Kita sengaja mengingatkan diri sendiri bahwa tidak perlu menjadi tidak sabar terhadap diri sendiri karena kita menemukan pikiran yang menilai sepanjang waktu, atau karena kita gelisah atau takut atau cemas, atau karena kita telah berlatih untuk sementara waktu dan sepertinya tidak ada perubahan yang terjadi. Kita memberi diri kita ruang untuk memiliki pengalaman ini. Mengapa? Karena kita memilikinya! Mengapa harus terburu-buru menuju ke arah yang “lebih baik”? Setiap saat dalam hidup itu adalah sesuatu yang spesial dan unik.

·        Beginner's Mind (pikiran pemula)

Kita cenderung menganggap lumrah begitu saja dan gagal memahami hal yang luar biasa. Melihat kekayaan saat ini, kita perlu menciptakan apa yang disebut “pikiran pemula”, sebuah pikiran yang bersedia melihat segala sesuatu seolah-olah untuk pertama kalinya. Dengan keterbukaan, pikiran “pemula” membawa kita bisa menerima pada kemungkinan baru dan mencegah kita dari keadaan terhenti pada kebiasaan yang sudah menjadi keahlian kita, yang seringkali kita sok tahu terhadap hal itu. Suatu kali bila kamu melihat seseorang yang akrab di suatu kampus misalnya, tanyakan pada diri mu apakah kamu melihat orang ini dengan pandangan yang segar, seperti dia sebenarnya, atau jika kamu hanya melihat bayangan pikiran kamu tentang orang ini, dan dengan perasaan mu tentang orang ini. Apakah kamu bisa melihat langit, bintang, pepohonan, air, dan bebatuan seperti sekarang, dengan pikiran yang jelas dan tidak kabur? Atau apakah kamu hanya melihat mereka melalui keruh emosi, perasaan, pikiran, dan pendapat mu sendiri?

·        Trust (Percaya)

Dalam melatih mindfulness, kamu berlatih mengambil tanggung jawab untuk menjadi diri sendiri dan belajar mendengarkan dan mempercayai keberadaan kamu sendiri. Semakin kamu menumbuhkan kepercayaan ini pada diri kamu sendiri, semakin mudah kamu akan menemukan diri kamu untuk mempercayai orang lain lebih baik serta dapat melihat kebaikan mereka juga. Jauh lebih baik mempercayai intuisi kamu sendiri dari pada melihat ke luar diri untuk mendapatkan bimbingan, bahkan jika kamu membuat beberapa “kesalahan” di sepanjang perjalanan hidup mu.

·        Non-striving (Tanpa Usaha)

Hampir semua yang kita lakukan adalah untuk suatu tujuan. Kita punya tujuan untuk bepergian atau tugas tertentu untuk dijalankan. Dalam meditasi, tujuan ini bisa menjadi rintangan nyata. Meditasi pada akhirnya tidak dapat dilakukan. Tidak ada tujuan selain menjadi diri mu saat ini, pada saat kamu bermeditasi. Misalnya, jika Anda duduk dan berkata, “Saya akan merasa rileks, atau tercerahkan, atau menjadi orang yang lebih baik”, maka kamu telah memperkenalkan sebuah gagasan ke dalam meditasi Anda. Sebagai gantinya, jadikan hanya dengan diri kamu sendiri. Jika kamu kesakitan, rasakan sakitnya. Jika kamu tegang, rasakan ketegangannya. Rasakan semua kritik, pujian, kegembiraan, dan duka cita, lalu peganglah hal-hal itu dalam kesadaran. Lalu biarkan mereka pergi. Lanjutkan dengan membiarkan pikiran mu kosong, mengakui keberadaan perasaan dan pikiran saat mereka hadir, dan kemudian membiarkan mereka pergi dengan/melalui nafas, lalu membiarkan pikiran mu kembali ke pada kedamaian.

        ·        Acceptance (Penerimaan)

Alih-alih untuk menghindari kebenaran, lebih baik peluklah hal itu. Carilah peluang untuk pertumbuhan daripada hanya melihat yang negatif dan menyakitkan. Penerimaan tidak berarti kamu harus menyukai semuanya, atau kamu harus bersikap pasif terhadap segalanya dan meninggalkan prinsip-prinsip dan nilai-nilai Anda. Sebagai gantinya, kita menerima hadiah seperti ini - tidak lebih dan tidak kurang. Kita menghargainya saat kita diberi sesuatu dan membuatnya istimewa dan positif. Satu-satunya hal yang bisa kita pastikan adalah bahwa saat sekarang ini akan berubah, dan dengan memusatkan diri untuk tetap hidup di masa sekarang kita dapat berlatih untuk menerima apapun yang akan muncul pada saat berikutnya.

·        Letting Be (Membiarkannya)

Ketika kita mulai memberi perhatian pada pengalaman batin kita, dengan cepat kita menemukan bahwa ada beberapa pikiran, perasaan, dan situasi tertentu yang tampaknya ingin dipegang oleh pikiran. Jika hal itu menyenangkan, kita mencoba memperpanjang waktu bagi pikiran atau perasaan atau situasi ini, merentangkannya, dan menyulapnya berulang-ulang agar terjadi. Demikian pula, ada banyak pemikiran dan perasaan dan pengalaman yang kita coba untuk menyingkirkan atau mencegah diri kita agar tidak memilikinya karena mereka tidak menyenangkan, menyakitkan, atau menakutkan. Banyak cara kita lakukan agar kita terlindungi diri kita dari keberadaan mereka. Dalam latihan meditasi, kita dengan sengaja mengesampingkan kecenderungan untuk mengangkat beberapa aspek pengalaman kita dan menolak yang lain. Sebagai gantinya, kita membiarkan pengalaman kita menjadi seperti apa adanya, dan berlatih mengamatinya dari waktu ke waktu. Membiarkan pergi adalah cara untuk membiarkan sesuatu untuk menjadi, menerima hal-hal itu sebagaimana adanya. Membiarkan pergi bukanlah pengalaman asing. Kita melakukannya setiap malam saat kita tidur. Kita berbaring di permukaan empuk kasur atau sofa, dengan lampu padam, di tempat yang sepi, dan kita melepaskan pikiran dan tubuh kita. Jika kamu tidak bisa melepaskannya, kamu tidak bisa tidur. Sebagian besar dari kita memiliki pengalaman saat pikiran tidak bisa ditutup (shut down) saat kita tidur. Hal ini adalah salah satu tanda kamu sedang stres berat. Pada saat-saat seperti ini, kita mungkin tidak dapat membebaskan diri kita dari pikiran tertentu karena kita terlibat di dalamnya terlalu kuat. Jika kita mencoba memaksa diri kita untuk tidur, itu hanya memperburuk keadaan. Jadi, jika kamu bisa tidur, kamu sudah ahli dalam melepaskannya. Sekarang, kamu hanya perlu berlatih menerapkan keterampilan ini dalam situasi terjaga.

Sekian yang bisa aku sampaikan ya, materi mindful yang aku tulis ini aku ambil dari materi kuliah ku yang diberikan oleh dosen pengampu untuk mata kuliah intervensi, harapan ku semoga bisa menambah wawasan kalian dan bisa bermanfaat dikemudian hari, terima kasih banyak sudah mau meluangkan waktu untuk membaca post blog ku kali ini, sampai jumpa di lain kesempatan. Stay safe & health ya kalian 😊